cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Patanjala : Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya
ISSN : 20859937     EISSN : 25981242     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Patanjala means river water that constantly flowing along the path through to the estuary. As well as the characteristics of river water, all human have to work and do good deeds, with focus on future goals. Patanjala is a journal containing research results on cultural, artistic, and film values as well as history conducted by Center for Preservation of West Java Cultural Values (in West Java, DKI Jakarta, Banten and Lampung working areas. In general, the editors also received research articles in Indonesia. Patanjala published periodically three times every March, June, and September in one year. Anyone can quote some of the contents of this research journal with the provision of writing the source.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015" : 10 Documents clear
TUTURAN MEKUKU: SISTEM PENANDA ETNIS DALAM INTERAKSI SOSIAL SUKU TOLAKI DI SULAWESI TENGGARA Zakiyah Mustafa Husba
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (661.346 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.104

Abstract

Abstrak Mekuku merupakan salah satu sistem bertutur silsilah yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki dalam interaksi sosial situasi formal dan nonformal. Meskipun telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun, mekuku tidak dilakukan dalam tradisi yang bersifat ritual. Secara garis besar, mekuku disajikan dengan menggunakan dua media ujaran, yaitu pertanyaan-pertanyaan khusus dan deskripsi berbentuk prosa. Kedua media ujaran mekuku tersebut sama-sama akan menghasilkan jawaban yang isinya dapat menjelaskan silsilah seseorang berdasarkan status sosial seseorang. Penelitian ini difokuskan pada penanda etnis yang terdapat dalam mekuku sebagai sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menandai status seseorang dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini tentunya masyarakat yang berasal dari kelompok etnis yang sama. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tuturan mekuku yang di dalamnya mengandung penanda-penanda khusus yang dapat menandai status sosial seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tuturan mekuku terdapat penanda etnis yang digunakan sebagai alat bantu menentukan status sosial seseorang. Abstract Mekuku is one of genealogy utterance systems, which applied by Tolaki society in formal and informal situations. Although it has been a tradition for Tolaki society, Mekuku is not applied in the ritual tradition. Mainly, Mekuku is presented in two forms through specific questions and prose. These both forms provide answers, which describe the genealogy of a person in the society. This study focused on ethnic signifier in Mekuku as a system used to remark a persons’ social status in the society who come from the same ethnic group. The purpose of this study was to analyze Mekuku’s utterances that contain specific signifiers to remark a persons’ social status. The result of study showed that there were ethnic signifiers in Mekuku’s utterances, which used to determine social status of a person in the society.
PEMERINTAHAN MARGA DI LUBUKLINGGAU TAHUN 1855-1983 Eka Apriyanti dan Reiza D. Dienaputra
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (701.278 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.95

Abstract

AbstrakSistem Pemerintahan Marga di Lubuklinggau berlangsung sejak tahun 1855 pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Tahun 1983 sistem Pemerintahan Marga di Lubuklinggau berakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor: 142 tahun 1983. Pemerintahan Marga pertama kali dikenal dalam wilayah Kesultanan Palembang Tahun 1662-1706. Marga dibentuk pada umumnya di daerah pedalaman, yang berada di hulu sungai. Tujuannya untuk memudahkan pengaturan wilayah kesultanan yang luas. Setiap Marga dipimpin oleh seorang kepala Marga yang disebut Depati/Pesirah. Sistem Pemerintahan Marga berlangsung hingga Masa Kemerdekaan. Sumber informasi mengenai pemerintahan Marga antara lain Piagam dari Sultan Palembang untuk Kiai Ario dari IPIL (Sekayu), stempel cap Marga Suku Tengah Kepungut Moesi Oloe di Lubuk Besar tahun 1856, dan Piagam Moeara Katie Marga Suku Tengah Tiang Poeng-poeng Afdeeling Moesi Oloe tahun 1866. Untuk menjelaskan sistem Pemerintahan Marga yang berlangsung cukup lama di Lubuklinggau kajian ini menggunakan metode sejarah. Interpretasi diperkuat dengan menggunakan konsep dan teori dari ilmu sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Kajian  meliputi tiga hal, yaitu lahirnya pemerintahan Marga, hukum dalam pemerintahan Marga, dan pemerintahan Marga di Lubuklinggau. AbstractThe Clan Government administration systemof Lubuklingau had been role since 1855 in the Government of the Netherlands East Indies. It ended in 1983 by the Decree of the Governor of South Sumatra Level Region Number: 142 year 1983. The Clan Government Administration was known firstly in the Sultanate of Palembang Year 1662-1706. Margaor clan was formed generally in rural areas, which was closed to the river. The aim was to facilitate the controlling of the sultanate vast territory. Each of the clan was led by a head of Margawhich was called Depati / Pesirah. This system lasted until the Independence Period. The information sources about the government of clans can be seen from the Charter of the Sultan of Palembang to Kiai Ario of IPIL (Sekayu), stamp of the clans of Middle Kepungut Moesi Oloe in Lubuk Besar in 1856, and the Charter of Moeara Katie Middle Pillar Poeng-Poeng Afdeeling Moesi Oloe clan in 1866 . To explain the government system of Lubuklingau clan in this research,the researcher used the historical method. The Interpretation is reinforced by the use of concepts and theories of sociology, anthropology, and political science. The Studies cover three things; the birth of clan governance, rule of law within the clan, and the clan rule in Lubuklinggau.
BATU TELAPAK KAKI CADASARI PANDEGLANG: KETERKAITANNYA DENGAN PRASASTI CIARUTEUN Effie Latifundia
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.100

Abstract

AbstrakBatu telapakkaki Cadasari merupakan permasalahan umum yang dibahas pada tulisan ini. Tulisan ini mencoba mengungkap adakah keterkaitan antara  telapak kaki Cadasari Pandeglang dengan  telapak kaki Purnawarman prasasti Ciaruteun.Metode penelitian arkeologi dipergunakan untuk menjawab permasalahan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, survei, dan wawancara. Batu tapak dipandang sebagai salah satuwujud kebudayaan materi yang digunakan oleh masyarakat masa lalu dalam mengekspresikan kebudayaannya muncul dan berkembang pada masa klasik/Hindu-Buddha. Menurut para ahli, bahwa tadisi batu telapak kaki mulai berkembang bersamaan dengan berkembangnya masa Tarumanagara. Masa Tarumanagara ditandai dengan sejumlah prasasti. Hasil analisis melalui aspek kebudayaan, dimensi ruang, waktu dan bentuk serta menelaah simbol dan makna mengindikasikan bahwa telapak kaki Cadasari  memiliki keterkaitan dengan batu telapak kaki Purnawarman dalam prasasti Ciaruteun. Telapak kaki Cadasari dengan telapak kaki Purnawarman memiliki simbol dan makna budaya sejajar. Telapak  kaki Cadasari menunjukkan simbol pengesahan atau legitimasi dari penguasa pada masa itu. Dengan demikian batu telapak Cadasari mengandung arti/makna bahwa kawasan Cadasari merupakan  bagian dari kekuasaan Tarumanagara di bawah pemerintahan Purnawarman.AbstractCadasari stone foot is a common problem that is discussed in this paper. This paper attempts to uncover the relationship between the feet of Cadasari Pandeglang and the feet of Purnawarman in the inscription of Ciaruteun. The archaeological method research is used to answer the problem. The data was collected through literature studies, surveys, and interviews. Stone footprint is seen as one of the cultural artifact materials used by past societies in expressing culture emerged and developed in the classical period / Hindu-Buddhist.  According to experts, the stone feet tradition began and developed spreadly during Tarumanagara kingdom. Several numbers of inscriptions marked Tarumanagara kingdom period. The results of the analysis through the aspect of culture, dimensions of space, time and form as well as examine the symbols and meanings indicate that the soles of the feet of Cadasari has been linked to the foot stone inscription of Purnawarman in the inscription of Ciaruteun. Cadasari and Purnawarman’s foot have equal cultural symbols and meanings. Footprint of Cadasari shows the symbol of endorsement or legitimacy of the ruler at the time. Therefore, the stone of Cadasari means / implies that the region of Cadasari is a part of the power of Tarumanagara under the Purnawarman Governance.
PERKEMBANGAN TAMAN KOTA DI BANDUNG MASA HINDIA BELANDA (1918-1942) Hary Ganjar Budiman
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (649.823 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.91

Abstract

AbstrakPenelitian ini berusaha menguraikan tentang perkembangan taman kota serta analisis persebarannya di Bandung pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Penelitian ini penting untuk dilakukan agar diketahui contoh pola perancangan taman kota yang baik dalam perkembangan kota. Penelitian ini menggunakan metode sejarah (heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi) dengan pendekatan sosio-spatial. Adapun konsep yang digunakan adalah “dialektika sosiospatial”, yaitu di suatu sisi masyarakat menciptakan dan memodifikasi ruang-ruang perkotaan namun di sisi lain, pada saat bersamaan, berbagai ruang berusaha disesuaikan agar sesuai dengan ruang-ruang tempat mereka tinggal dan kerja. Melalui penelitian ini diketahui bahwa pembangunan taman-taman kota dipengaruhi oleh peranan elit Eropa (Preangerplanters dan pejabat pemerintah) di Bandung. Pembangunan taman kota terjadi sepanjang tahun 1918  hingga 1925 bersamaan dengan rencana perpindahan ibu kota Hindia Belanda ke Bandung. Taman kota dibangun sebagai fasilitas publik yang berada di dekat lingkungan pendidikan, perumahan, dan pemerintahan. Pengambil kebijakan di masa itu  menyadari pentingnya penyediaan ruang hijau ketika jumlah penduduk dan kehidupan kota semakin berkembang.  AbstractThis study tried to describe the development of the city park and the analysis of their distribution in Bandung during the reign of the Dutch East Indies. This research is important to do in order to know the examples of design pattern of a city park in both of the development of the city. This study uses historical methods (heuristic, criticism, interpretation, and historiography) with socio-spatial approach. The concept used in this research is the "dialectic sosiospatial" ; a society creates and modifies the urban spaces, but on the other hand, at the same time, a variety of space is tried to be adjusted to fit the spaces where they live and work.Through this research, can be inferred that the construction of city parks affected by the role of the European elite (Preangerplanters and government officials) in Bandung. City park development occurs throughout the 1918 to 1925 along with plans to transfer the capital of the Dutch East Indies to Bandung. City Park was built as a public facility that was located near an educational environment, housing, and governance. Policy makers at the time realized that the importance of providing green space when the population of city life is growing.
MONTRADO 1818-1858: DINAMIKA KOTA TAMBANG EMAS Any Rahmayani
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (595.65 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.105

Abstract

Abstrak        Penelitian ini menyajikan gambaran Kota Montrado pada 1818-1858.  Montrado,  pernah menjadi salah satu pusat kongsi pertambangan emas besar di Borneo Barat. Latar belakang penelitian ini adalah keberadaan kongsi-kongsi emas di Borneo Barat yang memegang peranan penting bagi perubahan yang terjadi di wilayah ini baik ekonomi, sosial dan politik. Permasalahan pokok yang dibahas adalah gambaran Kota Montrado dan perubahan yang terjadi seiring dengan dinamika kongsi pertambangan emas. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan proses terbentuknya Montrado sebagai pusat kongsi emas dan merekonstruksi keadaan Kota Montrado pada paruh pertama abad ke-19. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas empat tahapan: heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Montrado masa kongsi merupakan kota yang lengkap dengan pusat pemerintahan, pusat perdagangan, sarana ibadah, kelengkapan infrastruktur dan sanitasi serta wilayah-wilayah pendukung. Ekologi kota ini berubah seiring dengan runtuhnya kongsi pertambangan emas yang berpusat di wilayah tersebut. Perubahan ini dapat dilihat dari berbagai sektor seperti penurunan jumlah penduduk akibat migrasi setelah perang, runtuhnya simbol-simbol kekuasaan kongsi (thang) serta perubahan dalam organisasi pemerintahan sekaligus kemasyarakatan Tionghoa yang berganti dengan sistem yang ditetapkan pemerintah kolonial.AbstractThis study presents an overview of Montrado City between 1818 through 1858. Montrado was the major of gold mining joint venture facility in West Borneo. The background of this research is the existence of gold syndicates in West Borneo that plays an important role for the changes of economic, social and political that occurred in this region. The main problem discussed here is the image of the City of Montrado and its changes that occur in line with the dynamics of the gold mining joint venture. The aim of this study is to describe the process of formation of the joint venture Montrado as a center of gold and reconstruct the state of Montrado City in the first half of the 19th century.The method used is the historical method which consists of four stages: heuristics, criticism, interpretation and historiography. The results showed that joint venture of Montrado City was a complete city with the center of government, trade centers, places of worship, the completeness of sanitation and infrastructure. This city ecology was changed along with the collapse of the gold mining joint venture in this region. These changes can be seen from various sectors such as the decline in population due to migration after the war, the collapse of the symbols of power of joint venture (thang) as well as changes in the organization of government in the Chinese community which is replaced by a system that defined by the colonial government.
SENGKEDAN: BENTUK REKAYASA LINGKUNGAN UNTUK PERMUKIMAN DAN PERTANIAN Iwan Hermawan
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (718.372 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.92

Abstract

Abstrak Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan pemanfaatan sengkedan oleh masyarakat dalam merekayasa lahan miring untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman dan pertanian. Pemanfaatan sengkedan untuk rekayasa lahan miring oleh masyarakat Sunda sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan terus berlanjut hingga saat ini. Teknologi tersebut hingga saat ini masih tetap aktual dalam upaya mengelola lahan miring agar dapat dimanfaatkan sebagai lahan permukiman, pertanian, dan keagamaan. Metode penulisan yang dipergunakan pada tulisan ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penggunaan sengkedan sebagai upaya merekayasa lahan miring merupakan bentuk rekayasa lingkungan oleh masyarakat Sunda dengan tetap mempertahankan keseimbangan alam. Pemanfaatan bagian lereng untuk pemukiman dan pertanian diimbangi dengan mempertahankan bagian puncak sebagai kawasan hutan. Melalui upaya tersebut, daur hidrologi tetap terjaga keseimbangannya, karena ketika turun hujan air masih bisa menyerap ke dalam tanah dan keluar dari dinding teras melalui celah di antara batu. Proses pengelolaan lahan tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui berbagai ajaran adat dalam bentuk pamali, buyut, tabu atau pantang larang. Perubahan pemanfaatan lingkungan dilakukan dengan tanpa pengrusakan dan keseimbangan ekologi tetap dipertahankan.  AbstractThis paper aims to describe the use of swales by public in manipulating sloping land to meet the demand for land settlement and agriculture. Utilization of swales to sloping land engineering by the Sundanese community has been made since ancient times and continues to this day. The technology is still up to date in an effort to manage the sloping land that can be usedas a land settlement, agriculture, and religious. Writing method used in the study is descriptive qualitative approach. The use of swales is an effort to manipulate the manage slopes form of environmental engineering by the Sundanese community by maintaining the balance of nature. The use of the slope for settlements and agriculture is balanced by maintaining the top as a forest area. Through these efforts, the hydrological cycle is maintained balance, because when it rains the water can still absorb into the soil and out of the walls through the gap between the stone terraces.  The land management processes passed down from generation to generation through a variety of traditional teachings in the form of taboos, great-grandfather, taboo or forbidden abstinence Change of use of the environment without damaging and ecological balance is maintained.
KEARIFAN LOKAL ORANG SUNDA DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL DI KAMPUNG KUTA KABUPATEN CIAMIS Aam Masduki
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (794.691 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.102

Abstract

Abstrak Masyarakat Sunda termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa dan budayanya. Dalam Bahasa Sunda dikenal babasan dan paribasa yang merupakan ungkapan tradisional atau idiom suku Sunda. Isi dari babasan dan paribasa merupakan nilai-nilai dan kearifan lokal orang Sunda pada umumnya. Dalam babasan dan paribasa banyak sekali kearifan lokal yang terkandung didalamnya. Nilai dan kearifan lokal ini yang harus tetap dijaga dan dijadikan falsafah hidup orang Sunda. Kearifan lokal mengandung nilai, kepercayaan, dan sistem religi yang dianut masyarakat setempat.Kearifan lokal pada intinya kegiatan yang melindungi dan melestarikan alam dan lingkungan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji dan melestarikan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Penelitian  kearifan lokal dilakukan pada masyarakat adat Kuta di Kabupaten Ciamis yang berfokus pada babasan dan paribasa. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dalam bentuk kualitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi partisipasi/pengamatan, wawancara mendalam dengan beberapa informan dan pengunjung, serta studi pustaka. Data yang dianalisis meliputi: Makna yang terkandung dalam kearifan lokal babasan dan paribasa, terutama yang mengatur tentang manusia sebagai pribadi, hubungan manusia dengan lingkungan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan. AbstractSundanese people is one ofanethnic which is extremely proud of their language and culture. In Sundanese, it is known babasan and paribasa which is a traditional expressions or idioms of Sundanese tribe. The content of babasan and paribasais the values and local wisdom of Sundanese people in general. In babasan and paribasa, there are a lot of local knowledge contain there. Values and local wisdoms must be kept and used as a philosophy of Sundanese life. Local wisdom contain values, beliefs, and religious system which is adopted by local communities.  Local wisdom on its core activities protect and preserve the natural and environment. Therefore, it is important to study and preserve the local wisdom that flourished in our society.The research of local wisdom was performed at Kuta indigenous people in Ciamis district that focuses on babasan and paribasa. The method used was descriptive method in the form of qualitative data collection techniques such as participatory observation / observation, in-depth interviews with informants and visitors, as well as literature. The data analyzed include the meaning in the local wisdom of babasan and paribasa, especially the regulation of the human as a person, human relationships with the community, the human relationship with nature, and man’s relationship with God.
UPACARA HULUWOTAN: RITUAL PADA MASYARAKAT GAMBUNG DESA MEKARSARI – KABUPATEN BANDUNG Nina Merlina
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1315.039 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.98

Abstract

Abstrak Upacara huluwotan adalah kegiatan ritual yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali, tepatnya setiap bulan silih mulud atau bulan Rabi’ul Akhir dalam kalender Islam. Kegiatan ini merupakan tradisi masyarakat Gambung yang sudah turun temurun. Upacara ini merupakan satu bentuk cacarekan  atau nazar (hajat) leluhur, yang pada saat itu masyarakat Kampung Gambung kesulitan air bersih. Dipimpin oleh sesepuh kampung, masyarakat bersepakat untuk membangun solokan atau saluran air yang panjangnya kurang lebih 2 kilometer mulai dari huluwotan (mata air) di kaki Gunung Geulis sampai ke permukiman warga. Upacara tersebut sudah menjadi tradisi yang tidak pernah terlewatkan. Upacara ini sangat menarik untuk diteliti. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui proses jalannya upacara huluwotan yang mana upacara ini berkaitan dengan kekuatan alam dan kekuatan gaib dan masyarakat masih mempertahankan upacara tersebut sampai sekarang. Selain itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk melihat perubahan yang terjadi dan faktor yang mempengaruhinya. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengumpulan datanya sebagai berikut; studi pustaka, wawancara dan observasi langsung pada masyarakat Gambung, Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. AbstractHuluwotan ceremony is a ritual held once a year, precisely every year in Mulud Rabi Late in the Islamic calendar. This event is a tradition of Gambung society, which had been started in the past time. This ceremony is a form of cacarekan or votive (lavatory) ancestors, which at that time the village communities of Gambung are having difficulties in providing clean water. Led by the village elders, the community agreed to build solokan or water channel, which has length of approximately 2 kilometers from huluwotan (springs) at the foot of Mount Geulis up to the residence.The ceremony has become a tradition that never missed. This ceremony is very interesting to be studied. The objective of this study is to determine the course of the ceremony ofhuluwotan that is associated with the forces of nature and the magicwhere the public retains the ceremony until now. In addition, another goal of the study was to see the changes and the factors that influence it. The method used in this study is a qualitative method of data collection techniques as follows; literature, interviews and direct observation in Gambung community, village Mekarsari, Pasir Jambu subdistrict, Bandung district.
PENDIDIKAN SELERA: PERKEMBANGAN BUDAYA MAKAN DALAM RUMAH TANGGA URBAN JAKARTA PADA PERIODE 1950-AN Gregorius Andika Ariwibowo
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.23 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.103

Abstract

AbstrakPeriode 1950-an secara global disebut sebagai abad atom. Pada periode ini terjadi modernisasi dalam gaya hidup dengan berkembangnya peralatan-peralatan elektronik dalam lingkup rumah tangga. Pada periode ini pula masyarakat Perkotaan Jakarta mengalami transformasi dalam lingkup rumah tangga, perkembangan peralatan rumah tangga modern mengubah kebiasaan sehari-hari kehidupan rumah tangga perkotaan.. Tulisan ini membahas bentuk gaya hidup masyarakat Perkotaan Jakarta terutama terkait dengan perkembangan budaya makan di lingkungan rumah tangga. Selain itu tulisan ini juga membahas mengenai kebijakan dari pemerintah yang turut memberikan warna dalam perkembangan budaya makan di lingkungan rumah tangga perkotaan. Kajian ini menggunakan konsep Pendidikan selera. Pendidikan selera merupakan proses pengenalan dan perkembangan sajian, selera, dan budaya makan akibat persinggungan dan asosiasi antarbudaya, serta perkembangan budaya modern. Kajian ini menarik kesimpulan bahwa terdapat empat faktor memengaruhi perkembangan budaya makan di Kota Jakarta pada periode 1950-an. Faktor-faktor tersebut yakni, perkembangan pendidikan; interaksi sosial dan kekerabatan yang terjalin antarrumah tangga urban; perkembangan industri pengolahan makanan; dan melalui peran Lembaga Makanan Rakjat (LMR).  AbstractIn the 1950s period was globally referred as an atom century. This period witnessed the modernization of lifestyle with the development of electronic equipment in the domestic sphere. In this period the people of Urban Jakarta also undergone a transformation in the domestic sphere, the development of modern household appliances which was changed the habits of everyday life of urban households. This paper discusses the shape of people's lifestyles of Urban Jakarta primarily associated with the development of the culture of eating in a domestic environment. In addition, this paper also discusses the policies of the government that also provide the variety in the development of eating culture in the neighborhood of urban households.  This study uses the concept of Education tastes. Taste of education is a process of introduction and development of the dish, tastes and culture of eating due to the intersection and inter-cultural associations, as well as the development of modern culture. This study draws the conclusion that there were four factors that was influencing the development of the culture of eating in the city of Jakarta in the 1950s. These factors were the development of education; social interaction and kinship that exists between urban households and the development of food processing industry; and through the role of the People's Institute of Food (LMR).
KOPI DI PRIANGAN ABAD XVIII-XIX Lasmiyati Lasmiyati
Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015
Publisher : Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (448.252 KB) | DOI: 10.30959/patanjala.v7i2.94

Abstract

AbstrakSejak 20 Juli 1818 Keresidenan Priangan terdiri atas Cianjur,  Bandung, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Daerah tersebut sebagai penghasil kopi.   Kopi pada saat itu merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa, sehingga memicu  VOC untuk memasok kopi dari pegunungan Priangan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa biji kopi yang ditanam di Priangan dapat tumbuh subur, bahkan sewaktu Cianjur dijabat oleh Wiratanu III dapat menyerahkan hasil tanaman kopi melebihi kabupaten lainnya. Selama kopi dalam pengawasan VOC, harga di pasaran terus naik, namun di tingkat  petani harga kopi sangat rendah, akibatnya para  petani banyak yang  meninggalkan perkebunan. Ketika kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda, Daendels merangkul para bupati untuk bekerja sama dalam hal penanaman kopi.  Bupati dan bawahannya mendapatkan persentasi dari penanaman kopi tersebut, namun sayang penduduknya dipekerjakan untuk membangun infrastruktur tanpa imbalan, rakyat pun banyak yang mati kelaparan. Masa pemerintahan Van der Cappelen, penanaman  kopi     di Priangan mengalami penurunan  seiring dengan wabah penyakit yang melanda Keresidenan Priangan. Pada masa kepemimpinan Van den Bosch, penanaman kopi  dipadukan dengan tanaman lainnya, seperti kapas,sutera, dan lain-lain. Meskipun kopi di pasaran dunia terus naik, namun penanaman kopi tidak membuahkan hasil yang maksimal.  AbstrakSejak 20 Juli 1818 Keresidenan Priangan terdiri atas Cianjur,  Bandung, Sumedang, Limbangan, dan Sukapura. Daerah tersebut sebagai penghasil kopi.   Kopi pada saat itu merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Eropa, sehingga memicu  VOC untuk memasok kopi dari pegunungan Priangan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa biji kopi yang ditanam di Priangan dapat tumbuh subur, bahkan sewaktu Cianjur dijabat oleh Wiratanu III dapat menyerahkan hasil tanaman kopi melebihi kabupaten lainnya. Selama kopi dalam pengawasan VOC, harga di pasaran terus naik, namun di tingkat  petani harga kopi sangat rendah, akibatnya para  petani banyak yang  meninggalkan perkebunan. Ketika kekuasaan VOC digantikan oleh pemerintah Hindia Belanda, Daendels merangkul para bupati untuk bekerja sama dalam hal penanaman kopi.  Bupati dan bawahannya mendapatkan persentasi dari penanaman kopi tersebut, namun sayang penduduknya dipekerjakan untuk membangun infrastruktur tanpa imbalan, rakyat pun banyak yang mati kelaparan. Masa pemerintahan Van der Cappelen, penanaman  kopi     di Priangan mengalami penurunan  seiring dengan wabah penyakit yang melanda Keresidenan Priangan. Pada masa kepemimpinan Van den Bosch, penanaman kopi  dipadukan dengan tanaman lainnya, seperti kapas,sutera, dan lain-lain. Meskipun kopi di pasaran dunia terus naik, namun penanaman kopi tidak membuahkan hasil yang maksimal.   AbstractIn the 20th century, Priangan territory; Cianjur, Bandung, Sumedang, Limbangan (Garut), Sukapura (Tasiklamalaya), and Ciamis was known as the region producer of coffee. Coffee at that time was a commodity that needed by the Europeans, thus triggering the VOC to come to Priangan mountains. This study uses a heuristic method to the stage of history, criticism, interpretation, and historiography. It was obtained an information from the result of this research that the coffee beans which is grown in Priangan can flourish easily. When Cianjur was held by Wiratanu III, Cianjur be able to deliver the coffee plant exceedeed other districts. During the coffee was  in VOC controled, market prices continued to rise, but at the farm level the price was very low, as the result many farmers left plantations. When the power of VOC was replaced by the Dutch, Daendels approached the regents to work together on coffee growing.  The Regent and his subordinates would get benefit of the coffee growing, but unfortunately the population was employed to build infrastructure without reward hence too many people were dying of hunger. In the reign of Van der Cappelen, the coffee cultivation in Priangan decreased since the disease outbreaks that hit Priangan Residen. During the reign of Van den Bosch, the coffee plantation was combined with other crops, such as cotton, silk, and others. Although coffee in the world market continued to rise, but the cultivation of coffee does not produce maximum results.

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2015 2015


Filter By Issues
All Issue Vol 13, No 2 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 2 OKTOBER 2021 Vol 13, No 1 (2021): PATANJALA VOL. 13 NO. 1 APRIL 2021 Vol 12, No 2 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 2 Oktober 2020 Vol 12, No 1 (2020): PATANJALA VOL. 12 NO. 1 April 2020 Vol 11, No 3 (2019): PATANJALA VOL. 11 NO. 3, September 2019 Vol 11, No 2 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 2, JUNE 2019 Vol 11, No 1 (2019): PATANJALA Vol. 11 No. 1, MARCH 2019 Vol 10, No 3 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 3, September 2018 Vol 10, No 2 (2018): PATANJALA Vol. 10 No. 2, JUNE 2018 Vol 10, No 1 (2018): PATANJALA VOL. 10 NO. 1, MARCH 2018 Vol 9, No 3 (2017): PATANJALA VOL. 9 NO. 3, SEPTEMBER 2017 Vol 9, No 2 (2017): PATANJALA VOL. 9 NO. 2, JUNE 2017 Vol 9, No 1 (2017): PATANJALA Vol. 9 No. 1 MARCH 2017 Vol 8, No 3 (2016): PATANJALA Vol. 8 No. 3 September 2016 Vol 8, No 2 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 2 JUNE 2016 Vol 8, No 1 (2016): PATANJALA VOL. 8 NO. 1 MARCH 2016 Vol 7, No 3 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 3 SEPTEMBER 2015 Vol 7, No 2 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 2 JUNE 2015 Vol 7, No 1 (2015): PATANJALA VOL. 7 NO. 1 MARCH 2015 Vol 6, No 3 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 3 SEPTEMBER 2014 Vol 6, No 2 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 2 JUNE 2014 Vol 6, No 1 (2014): PATANJALA VOL. 6 NO. 1 MARCH 2014 Vol 5, No 3 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 3 SEPTEMBER 2013 Vol 5, No 2 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 2 JUNE 2013 Vol 5, No 1 (2013): PATANJALA VOL. 5 NO. 1 MARCH 2013 Vol 4, No 3 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 3 SEPTEMBER 2012 Vol 4, No 2 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 2 JUNE 2012 Vol 4, No 1 (2012): PATANJALA VOL. 4 NO. 1 MARCH 2012 Vol 3, No 3 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 3 SEPTEMBER 2011 Vol 3, No 2 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 2 JUNE 2011 Vol 3, No 1 (2011): PATANJALA VOL. 3 NO. 1 MARCH 2011 Vol 2, No 3 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 3 SEPTEMBER 2010 Vol 2, No 2 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 2 JUNE 2010 Vol 2, No 1 (2010): PATANJALA VOL. 2 NO. 1 MARCH 2010 Vol 1, No 3 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 3 SEPTEMBER 2009 Vol 1, No 2 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 2 JUNE 2009 Vol 1, No 1 (2009): PATANJALA VOL. 1 NO. 1 MARCH 2009 More Issue